Kenapa Gen Z Rentan Terhadap Kesehatan Mental?

kesehatan mental gen z

Hai, Aku ingin mengajak kamu ngobrol soal topik yang mungkin sudah sering kamu dengar, tapi masih terasa seperti bayangan samar  “kesehatan mental“, khususnya pada generasi Gen Z. Mungkin kamu sendiri termasuk generasi ini, atau mungkin kamu mengenal seseorang yang termasuk di dalamnya, adik, teman, anak, atau bahkan rekan kerja.

Aku pribadi cukup banyak berinteraksi dengan orang-orang Gen Z, baik secara langsung maupun lewat media sosial. Dan yang Aku rasakan, generasi ini luar biasa kreatif, cepat belajar, dan punya kepedulian sosial yang tinggi. Tapi di balik semua itu, ternyata mereka juga menghadapi tantangan yang tidak ringan, khususnya terkait kesehatan mental.

Lalu, kenapa sih Gen Z disebut lebih rentan mengalami masalah kesehatan mental dibandingkan generasi sebelumnya? Mari kita bahas secara jujur dan santai di artikel ini.

Siapa Itu Gen Z?

Sebelum masuk ke pembahasan utama, mari kita samakan persepsi dulu. Gen Z biasanya merujuk pada mereka yang lahir antara tahun 1997 hingga 2012. Artinya, saat ini usia mereka ada di rentang remaja hingga awal usia kerja.

Sebagai generasi yang tumbuh di era digital, Gen Z hidup berdampingan dengan internet, media sosial, dan informasi yang tiada henti. Mungkin kamu salah satunya, sejak kecil sudah terbiasa dengan gadget, TikTok, Instagram, YouTube, dan segala jenis konten yang terus mengalir. Nah kenapa sih Gen Z rentan terhadap kesehatan mental? berikut alasannya

Dan di sinilah letak salah satu persoalannya.

1. Tekanan dari Media Sosial yang Terus-Menerus

Aku rasa kita semua tahu, media sosial bisa menjadi sumber inspirasi, tapi juga sumber tekanan. Buat Gen Z, media sosial bukan cuma tempat hiburan. Ia menjadi tempat pembentukan identitas, tempat mencari validasi, bahkan tempat pelarian.

Sayangnya, media sosial juga menciptakan standar hidup yang tidak realistis. Foto-foto “sempurna”, gaya hidup glamor, tubuh ideal, dan keberhasilan instan yang sering ditampilkan di timeline, bisa membuat kita merasa tertinggal, kurang cantik, kurang sukses, atau bahkan tidak cukup “baik”.

Bahkan, dalam studi yang dilakukan oleh Keles dkk. (2020), penggunaan media sosial yang intens dikaitkan langsung dengan meningkatnya gejala depresi dan kecemasan di kalangan remaja.

Aku yakin kamu pernah merasa seperti ini juga. Dan itu sangat manusiawi.

Namun jika perasaan itu terus muncul tanpa kita sadari dan tanpa disaring, maka lambat laun bisa memengaruhi kondisi kesehatan mental, menurunkan rasa percaya diri, memicu kecemasan, hingga membuat seseorang menarik diri dari pergaulan.

2. Tuntutan Prestasi dan Masa Depan yang Tidak Pasti

Gen Z juga tumbuh di masa yang penuh ketidakpastian, dari pandemi global, perubahan iklim, resesi ekonomi, hingga persaingan kerja yang semakin ketat. Aku sendiri melihat banyak anak muda yang sudah memikirkan masa depan bahkan sebelum lulus sekolah.

Data dari Twenge dkk. (2019) menunjukkan bahwa peningkatan gangguan suasana hati di kalangan Gen Z, termasuk depresi dan pikiran untuk menyakiti diri sendiri, secara signifikan meningkat dalam kurun waktu setelah 2010—masa di mana tekanan akademik dan eksistensi digital mulai bersinggungan erat.

Tekanan untuk selalu berprestasi, produktif, dan “berhasil” sejak dini membuat banyak dari mereka mengalami burnout, kelelahan mental dan emosional yang parah. Kadang, ini bahkan terjadi saat mereka belum memasuki dunia kerja.

Dan ketika ekspektasi tidak sesuai realita, nilai tidak sesuai harapan, gagal masuk kampus impian, atau gagal membangun bisnis online, maka bisa muncul rasa gagal, malu, dan tertekan. Itulah mengapa banyak dari Gen Z mengalami gangguan seperti depresi ringan hingga beratoverthinking, atau anxiety disorder.

3. Minimnya Dukungan Emosional dari Lingkungan

Aku tidak sedang menyalahkan siapa pun, tapi kenyataannya, banyak Gen Z yang tumbuh tanpa benar-benar memiliki ruang aman untuk bercerita atau mengungkapkan emosi.

Di masyarakat kita, kesehatan mental masih dianggap tabu. Banyak orang tua atau orang dewasa yang sulit membedakan antara “anak malas” dengan “anak yang sedang depresi”. Atau antara “manja” dengan “kebutuhan akan validasi”.

Aku pernah mendengar cerita seorang remaja yang ingin berkonsultasi ke psikolog, tapi justru dimarahi karena dianggap “berlebihan.” Padahal, mengenali dan merawat kesehatan mental itu sama pentingnya dengan menjaga kesehatan fisik.

4. Keterbukaan Informasi = Banjir Kekhawatiran

Sebagai generasi digital, Gen Z sangat mudah mengakses informasi, baik yang bermanfaat maupun yang menyesatkan. Aku sering melihat banyak dari mereka yang rajin mencari tahu soal trauma masa kecil, efek parenting, atau gangguan mental tertentu. Ini sebenarnya bagus.

Tapi di sisi lain, keterbukaan ini juga bisa menimbulkan kekhawatiran berlebih. Mereka bisa dengan mudah mengasosiasikan diri dengan gangguan tertentu hanya karena merasa cocok dengan satu-dua gejalanya. Atau merasa terjebak dalam “label” yang justru membuat proses penyembuhan terhambat.

Jadi, meskipun informasi bisa memberdayakan, ia juga bisa membingungkan jika tidak dikombinasikan dengan bimbingan profesional.

Apa yang Bisa Kita Lakukan?

Sekarang pertanyaannya, bagaimana Aku dan kamu bisa membantu, entah untuk diri sendiri, atau untuk orang terdekat kita yang Gen Z?

1. Normalisasi Percakapan soal Kesehatan Mental

Jangan tunggu sampai krisis datang untuk mulai bicara soal perasaan. Mulailah dengan bertanya, “Apa kabar hari ini?” dan dengarkan dengan tulus. Aku pribadi merasa didengar adalah bentuk dukungan terbaik.

2. Hindari Menghakimi

Kalimat seperti “Kamu kurang bersyukur,” atau “Itu mah cuma drama” justru akan menutup ruang komunikasi. Mari kita belajar lebih empatik, karena setiap orang punya perjuangan yang tak terlihat.

3. Edukasi Diri Sendiri

Aku dan kamu bisa mencari tahu lebih dalam soal kesehatan mental dari sumber yang kredibel. Jangan hanya mengandalkan konten media sosial yang kadang tidak akurat.

4. Dukung Akses Bantuan Profesional

Dorong mereka (atau diri kita sendiri) untuk berkonsultasi ke psikolog atau konselor jika memang dibutuhkan. Konseling bukan tanda kelemahan, itu adalah bentuk keberanian untuk menyembuhkan diri.

5. Bangun Kebiasaan Sehat

Polusi digital, kurang tidur, pola makan berantakan, dan kurang gerak adalah hal-hal kecil yang bisa memperburuk kondisi mental. Yuk mulai dari diri sendiri: tidur cukup, batasi screen time, makan teratur, dan luangkan waktu untuk aktivitas yang membuat bahagia.

Penutup

Aku yakin Gen Z bukan generasi lemah. Mereka justru generasi yang sadar akan pentingnya kesehatan mental. Mereka berani bicara, berani mencari bantuan, dan berani menyuarakan apa yang tidak dimiliki generasi sebelumnya.

Namun justru karena mereka punya kesadaran tinggi, maka kita sebagai lingkungan, baik itu teman, keluarga, guru, atau atasan, harus mendukung, bukan malah menjauhkan. Kesehatan mental bukan sekadar isu, tapi bagian dari keseharian kita semua.

Jadi, kalau kamu adalah bagian dari Gen Z, Aku ingin bilang: kamu tidak sendiri. Dan jika kamu bukan Gen Z tapi peduli, maka kamu adalah bagian dari perubahan yang dibutuhkan.

Mari kita mulai langkah kecil hari ini, untuk lebih sadar, lebih peduli, dan lebih hadir.


Referensi Jurnal Ilmiah:

  1. Twenge, J. M., Cooper, A. B., Joiner, T. E., Duffy, M. E., & Binau, S. G. (2019). Age, Period, and Cohort Trends in Mood Disorder Indicators and Suicide-Related Outcomes in a Nationally Representative Dataset, 2005–2017. Journal of Abnormal Psychology, 128(3), 185–199.
  2. Keles, B., McCrae, N., & Grealish, A. (2020). A systematic review: the influence of social media on depression, anxiety and psychological distress in adolescents. International Journal of Adolescence and Youth, 25(1), 79–93.
  3. Orben, A., & Przybylski, A. K. (2019). The association between adolescent well-being and digital technology use. Nature Human Behaviour, 3(2), 173–182.
Avatar photo

Putri Melani

Halo! Saya Melani Putri, penulis di balik blog MediforaID.com. Saya memiliki ketertarikan besar di bidang kesehatan, gaya hidup sehat, dan informasi medis yang mudah dipahami.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *